Monday, September 17, 2007

Sebuah Konstruksi pemikiran tentang Visi Kepemimpinan

Oleh : M. Taufik Bill Fagih*


Persolan-persoalan yang cukup rumit agar dapat dileraikan diperlukan sosok pemimpin yang mempunyai Power Skil. Hampir bisa dipastikan kehadiran pemimpin yang mempunyai kepiawaian lebih, dalam mengatur organisasi yang saat ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dan kompetisi yang sengit, dibutuhkan sikap dan perilaku pemimpin yang mempunyai kualitas unggul dalam mengembangkan manajemen negara/ organisasi, dan juga harus mampu memperlihatkan ide-ide cemerlangnya serta membawa konsep Inovasi dan Kreativitas baru bagi negara/organisasinya itu sendiri.

Untuk itu ada tiga unsur yang harus ditanamkan bagi roda kepemimpinan sebuah organisasi. Pertama profesionalitas. Sebagai Kholifah Fiil Ardi yang dititipi amanah dituntut untuk berperan activ sekaligus melahirkan tongkat estapet professional dalam melakukan kerja-kerja kongkrit tentunya. Tidak bisa dipunkiri sedikit banyaknya manusia harus belajar dari sejarah kehidupannya. Dengan demikian karakter professional akan membentuk pemimpin yang loyal.

Kedua, proporsional. Dalam management, kepemimpinan harus ditempati oleh mereka yang memiliki skill memimpin sesuai dengan profesinya masing-masing. Oleh karena itu, pemimpin dituntut agar dapat memberikan posisi yang spesifik bagi anggota-anggotanya. Dan akhirnya job discription masing-masing personel akan terrealisasikan dengan baik. Adapun yang ketiga, dalam rangka mencapai sebuah kepemimpinan yang professional dan proporsional, maka yang harus ditekankan adanya niat yang sungguh-sungguh dari setiap pemimpin. Arah gerakan, orientasi dan tujuan organisasi sangat berpengaruh dengan niat para pengurusnya. Sejauh mana mereka akan membawa organisasi sesuai dengan visi dan misinya.

Dalam rangka mengembangkan serta melatih jiwa kepemimpinan di atas, mahasiswa membutuhkan media yang sekiranya dapat mengakomodir. Dan media yang tepat tentu adalah organisasi kepemudaan (OKP). Melalui OKP terjadi pelatihan dasar kepemimpinan dalam proses kaderisasi. Oleh karenanya OKP dianggap wadah yang representative untuk melatih dari tingkat dasar kepemimpinan bagi mahasiswa yang akan diterapkan kepada masyarakat pada tataran realitas.

Mahasiswa notabenenya dikatakan sebagai agen of change and control – seperti yang pernah diperjuangkan oleh mereka sang “penghancur” rezim otoriter kala itu. Namun, hari ini dapat dikatakan bahwa mahasiswa mengalami stagnasi pergerakannya. Dan ini merupakan sebuah perubahan orientasi yang cukup besar. Hal ini tidak luput dari disfungsi peran organisasi kepemudaan. Sebab, OKP merupakan sarana penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elit bangsa.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan bagian dari OKP yang berkompeten dalam rangka mencetak kadernya untuk berjiwa kepemimpinan kritis tranformatif. Apalagi dengan menjadikan motonya (zikir, fikr dan amal shaleh) sebagai trilogy gerakan perubahan.

Sama halnya dengan konsep teologi (tauhid) gerakan PMII yang membawa kadernya untuk secara optimal dapat melahirkan kontruksi masyarakat ideal dan dijamin oleh nilai-nilai ke-ilahian tanpa kekerasan. Indikasinya adalah ketika Aswaja dijadikan manhaj alfikr yang mampu menggagas kembali tentang peranan manusia di muka bumi, baik terhadap Tuhan, sesamanya dan alam semesta (NDP). Bagi PMII, dari sudut pandang teologi, manusia diletakkan sebagai subyek utama yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu poros keilahian. Sebab manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Tugas kepemimpinan (khalifah) ini harus terus bergejolak dengan segala dinamikanya (istiqomah) hingga titik darah penghabisan. Dengan kata lain, teologi PMII menjadikan kaderrnya untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan (HAM, demokrasi, tasamuh, tawasuth dan tawazun).

Seperti yang pernah diungkap Nusron Wahid, PMII sebagai organisasi mahasiswa yang konsen terhadap perjuangan menegakkan demokrasi tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyelamatkan demokratisasi secara sistemik dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pilihan untuk menyelamatkan perjuangan demokrasi, berarti harus berjuang secara utuh dan bersama-sama untuk menyelamatkan transisi demokrasi, karena itu PMII sebagai komponen pemuda mencari solusi dalam kepemimpinan republik ini, mencari dan mengawal format kepemimpinan yang demokratis. Jika konstruk pemikiran demikian, maka kader PMII merupakan solusi yang tepat bagi posisi strategis di sebuah negara/ organisasi.

PMII organisasi Revolusioner

Di sinilah subtansi PMII jika akan melahirkan kader berjiwa kepemimpinan yang “kaffah”. Cirri dinamisitas dengan penuh dialektis, historis dan memiliki kemampuan intelektual kritis terhadap realitas serta dengan tegas berpihak secara praktis, merupakan tolok ukur bahwa PMII adalah OKP yang dapat melahirkan pemimpin berjiwa revolusioner. Indikasinya adalah ketika kita menukik kelahiran PMII itu sendiri bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi yang dibesarkan dari barisan kaum tertindas dan terpinggirkan, yang mencoba untuk bangkit demi tercapainya cita-cita bersama, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbicara PMII bukanlah berbicara para elit, tetapi berbicara tentang rakyat jelata yang hingga saat ini masih terdiskriminasi oleh sistem yang korup, diskriminatif, dan elitis, seakan bangsa ini bangsa yang telah maju dan Merdeka (demikian salah satu perspekstif beberapa sahabat).

Dengan demikian konsekuensinya adalah apapun yang terjadi PMII selalu mengedepankan perubahan dalam rangka menuju suatu kemaslahatan bagi kadernya. Termasuk dialektika secara internal. Jika yang terjadi adalah sebuah ketimpangan, kesenjangan serta kemunduran dalam bergerak, maka tidak menutup kemungkinan kader-kader yang berjiwa revolusioner akan melakukan gerakan-gerakan independent dan progresif (kritis transformatif). Dalam rangka melawan dan merombak kemapanan system, kader PMII dituntut untuk melakukan sikap konfrontatif praksis. Frem berpikir dangan nilai-nilai kepemimpinan revolusioner akan terus mengalami proses perjalanannya. Jika tidak, maka PMII-pun akan terjebak pada stagnasi berjuang.

Dengan menyadari hal di atas, kader PMII sangat berpeluang untuk duduk di posisi strategis baik secara eks-maupun internal organisasi. Sudah saatnya kader PMII membumikan nilai-nilai revolusioner. Meski harus lepas secara structural dengan instansi sekitarnya.

PMII lahir karena melihat ketimpangan. PMII “berpisah” dengan NU karena menjaga independensi gerakannya. Demikianlah kader-kader PMII, harus hijrah dari ketidakadilan, keterpurukan serta dapat memberikan solusi kongkrit bagi bangsa, negara dan masyarakat serta untuk organisasinya. Melalui PMII generasi baru yang berdarah biru akan siap membangkitkan gairah perubahan…

*Penulis adalah wakil Presiden Mahasiswa STAIN Samarinda

Memotret Gelinding “Bola Panas” Wacana PMII Cabang Tandingan

 
Memotret Gelinding “Bola Panas” Wacana PMII Cabang Tandingan  (2) 
Wacana deklarasi pendirian PMII Cabang tandingan semakin menghangat menjadi buah bibir dikalangan warga pergerakan, jikalau minggu lalu redaksi telah menyajikan kilas balik fenomena PMII “tandingan” dalam sejarah dan pengalaman PMII Samarinda maka edisi ini sesuai dengan janji redaksi, akan menelusuri lebih lanjut tentang pro-kontra kesiapan “kuantitatif” berupa pemenuhan kuota dan jumlah kader dan syarat-syarat yuridis-legal-formal yang dicantumkan dalam AD-ART PMII, berikut ulasan selengkapnya.
 

Dari hasil pantauan redaksi, berkembangnya wacana deklarasi Cabang PMII Tandingan di warga PMII STAIN Samarinda kini bahkan telah sampai pada “kasak-kusuk” persoalan nama Cabang yang akan digunakan, sejauh ini walaupun beragam tanggapan hadir dari warga PMII STAIN sendiri namun dari pantauan redaksi sesungguhnya keinginan mereka hampir tunggal yaitu sepakat dengan pendirian Cabang PMII Tandingan. Bergulirnya dukungan dan tanggapan dari berbagai pihak baik dari kader sendiri hingga pihak lain dianggap mendorong dan mendukung wacana kehadiran PMII tandingan tersebut. Salah satunya nampak tergambar dari pernyataan dosen dan sekaligus alumni PMII STAIN samarinda, Moh.Mahrus, M.Ag dan Moh.Eka Mahmud, M.Ag belum lama ini di ruang kerjanya ketika diminta pendapatnya. “…kalau kami berpendapat PMII Cabang jangan hanya sekedar wacana, tapi harus segera didirikan atau di realisasikan…” ungkap mereka berdua.

Mengenai peluang pembentukan Cabang, pada pasal 15 AD-ART, Cabang dapat didirikan dengan sekurang-kurangnya memiliki 2 komisariat, walaupun di STAIN baru ada satu komisariat namun dari sisi jumlah kader tentunya dapat di realisasikan jika batasan formal 1 komisariat atau pendirian cabang dengan situasi khusus berjumlah 50 orang (pasal 15 ayat 3) selain itu alternatif ekspansi ke kampus lain bisa menjadi pilihan tambahan.

Hingga berita ini naik di meja redaksi, redaksi menerima begitu banyak respon pembaca berupa sms, email hingga press release dari warga PMII Samarinda. Sebagian bernada dukungan dan sebagaian lagi mengecam bahkan ada beberapa sms gelap tanpa nama yang menghujat dengan kata-kata kotor yang tak pantas disampaikan apalagi mengatasnamakan warga pergerakan. Karena keterbatasan kolom dan ruang maka sebagian tanggapan tersebut kami muat di kolom tanggapan pembaca.

Menurut penulusuran Redaksi di dalam AD-ART tidak menyinggung mengenai pendirian Cabang PMII Tandingan, di Bab IV tentang penghargaan dan sanksi misalnya, sanksi tentu berbeda dengan pemecatan. Sanksi pun dapat melalui proses banding lewat mahkamah yang dibentuk oleh otoritas PMII yang berwenang. Sanksi dan pemecatan juga haruslah betul-betul karena melanggar prinsip-prinsip organisasi seperti mencemarkan nama baik, dalam konteks ini oposisi kualitatif Cabang PMII tandingan tentunya bukanlah upaya pencemaran nama baik dan sah secara “ideologis” dan “kualitatif”. Senada dengan itu menurut Eva Dwi Cahyono salah seorang warga PMII mengatakan bahwa politik kader berupa iklim demokratis harus dijaga dalam penentuan sikap mendirikan cabang tandingan atau tidak, adalah sah dalam iklim yang demokratis.

Redaksi juga telah melakukan pooling public opinion dengan membuat beberapa pertanyaan dasar guna menjaring lebih dalam aspirasi warga PMII STAIN samarinda terkait dengan sorotan edisi ini yaitu “wacana Deklarasi Cabang PMII Tandingan”, berikut hasilnya kami persembahkan untuk anda para pembaca. Sebagai berikut:


Hasil Survai Tim Sapulidi


1. Sepakatkah anda dengan wacana deklarasi PMII Cabang Tandingan sebagai upaya oposisi “kualitatif” kerja-kerja ideologisasi dan kaderisasi PMII?

- Sepakat

- Tidak sepakat

- Tidak ingin berkomentar (abstain)

- Tidak tahu


2. Jika sepakat, apa program kerja awal atau prioritas utama yang harus dilakukan oleh PMII cabang tandingan tersebut?

- Ekspansi ke Kampus lain

- Konsentrasi kaderisasi di Internal

- Membangun jejaring gerakan pada organ lain

3. Bagaimana anda menyikapi atau menanggapi reaksi penolakan akan kehadiran PMII cabang tandingan tersebut?

- Merespon secara wajar karena bagian dari demokrasi

- Melawan apalagi jika mengancam secara fisik

- Tidak ambil pusing
















































R: 180 kepala

Random Sampling


Dengan menggunakan metode random sampling, mengacu jumlah responden yang ditentukan redaksi mendapatkan 84, 2 % dari responden ketika ditanyakan kesepakatannya jika didirikan cabang PMII tandingan menjawab sepakat dengan alasan yang beragam. Sedangkan ketika ditanya dengan pertanyaan kedua tentang prioritas apa yang harus dilakukan oleh cabang pmii tandingan ke depan, maka 64,5% memilih ekspansi ke kampus-kampus lain. Mereka sebagian beranggapan bahwa dalam kurun 1 tahun kepengurusan cabang di bawah kepemimpinan sahabat Irawan HS, tidak jelas. Mereka menyatakan sampai hari ini saja tidak pernah ada sosialisasi dan kejelasan di mana saja PMII sudah berdiri, “Cabang terkesan tidak evaluatif sehingga indikator ekspansi dan laporan perkembangan rayon-komisariat pun tidak pernah di transparansikan” cetus seorang kader berinisial YZ yang tidak ingin di sebutkan nama lengkapnya ketika ditemui redaksi. ”…yah tiba-tiba saja kalau sudah konfercab aja baru jumlah rayonnya jelas…yang jelas banyak fiktifnya lah..”ujarnya lagi ketus. Sedangkan masih soal prioritas apa yang harus dilakukan Cabang PMII Tandingan bila benar muncul, sebagian memilih untuk membangun jejaring dengan organ lain. Dan sisanya memilih untuk memperkuat basis kaderisasi internal STAIN Samarinda.

Berikutnya mengenai ketika ditanya seperti apa mereka menyikapi atau merespon suara penolakan baik yang santun maupun keras dari pihak yang tidak sepakat atas kehadiran cabang PMII tandingan, responden terbanyak memilih untuk bersikap wajar dan demokratis (69,8%) sebagian beralasan bahwa jika mereka memperlihatkan unsur-unsur kekerasan berupa ucapan–ucapan tidak patut lewat sms seperti kalimat “pmii stain anjing** “ sekalipun, kita harus menanggapi dengan dewasa toh mereka justru menunjukkan kekerdilan mereka sendiri ucap YZ lagi menambahkan.

Sedangkan sisanya justru beranggapan sebaliknya yaitu melawan apa lagi jika sampai ada yang bermuatan unsur kekerasan fisik dan sisanya lagi memilih tidak ambil pusing atau cuek.


 
Prediksi Struktur Pengurus Cabang “Tandingan”
 
Dewan Pembina : Prof. DR. Hj. Siti Muri’ah
                                Rusman Ya’kub M. Si
                                Safaruddin J., S.Sos
                                Amir Tajrid, M. Ag
                                Asman Aziz
 
Ketua Umum        : Rusdiono/Imam Sutanto/ Marfu’atin Muthaharoh
Ketua I                  : Bill Faqih/Arifuddin
Ketua II                  : Hajriana/ Wahyudi
 
Sekretaris Umum  :   Ayatullah Khumaini/Ardita
Wk. Sekretaris I   : Fitriani

Wk. Sekretaris II : Purwati

Bendahara : Irma Fitriana/ Halimah

BIDANG INTERNAL

Depertemen Kaderisasi Dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Koordinator : Nur Syahid Prasetya

Anggota : Ansur Arsyad

Purwati

Depertemen Kajian Dan Pengembangan Intelektual

Koordinator : Muhyiddin

Anggota : Arjuu RD

Desman Minang

BIDANG EKSTERNAL

Depertemen Hubungan dan komunikasi serta kebijakan publik

Koordinator : Susanti Widyawati

Anggota : Sri Devi

Abdul Kadir

Ramadhan, Ajang Refleksi atau Komersialisasi Agama ?

Ramadhan, Ajang Refleksi atau Komersialisasi Agama ?

Sebuah Tanggapan Atas Tulisan H. Akhmad Sirodz (Tribun Kaltim, 15/09/07)

Oleh : M. Taufik Billfagih *

Dari waktu dua belas bulan yang Allah ciptakan, ada satu bulan yang paling istimewa yaitu bulan ramadhan. Bulan bagi umt islam sebagai sarana pendidikan untuk melatih diri menahan hawa nafsunya, dan merupakan sarana yang efektif dalam masyarakat dari hedonisme.Melalui ramadhan dapat menumbuhkan kepekaan serta kesetiakawanan sosial. (Akhmad Sirozd, Tribun kaltim, edisi; 15/09/07. ramadhan meredam laju hedonisme)

Kehadiran bulan suci Ramadhan merupakan anugerah terbesar, bagi umat Islam. Selain menjadi moment yang tepat dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan, ramadhan juga menjadi ajang menumbuhkan kepekaan serta kesetiakawanan sosial. Seperti melaksanakan tarawih berjamaah, merupakan moment berharga bagi seorang Muslim untuk bersilaturahmi sekaligus ajang konsolidasi internal terkait masalah hidup dan kehidupan dalam beragama maupun bermasyarakat.


Kehilangan Esensi

Bulan yang telah disakralkan dalam Al-qur’an ini jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dapat melahirkan semangat pergerakan (jihad) seorang Muslim yang tangguh dalam menuntaskan pelbagai polemik keberagamaan dan kebangsaan. Akan tetapi, jika hanya sekedar untuk ”penyedap rasa" beragama, maka yang terlihat hanyalah sebuah pemandangan indah yang tertutup kabut hitam tebal, distorsi.


Penyimpangan seperti inilah yang tengah melanda masyarakat kita karena agama hanya diekspresikan dari kulit luar dan tidak melihat esensinya, sedangkan subtansi spiritualnya terlupakan. Alih-alih berbicara spiritualitas, akhir-akhir ini spritualitas keberagaman kita diperlihatkan melalui berbagai media, seperti elektronik (televisi) maupun
media cetak (koran).


Peristiwa dalam mediaisasi spiritualitas kebergamaan ini merupakan hilangnya nilai esensi agama. Dikatakan sebagai sosok Muslim yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi hanya ketika berada di depan kamera. Setelah itu, kembali dari tangan-tangan manusia itulah terjadi “perusakan” agama. Demikian halnya dengan para penonton, gerakan-gerakan spiritual yang ditayangkan di layar kaca hanya dijadikan hiburan tanpa memahami sebagai ajang komersialisasi beragama. Pada saat yang sama, industri perfilman mengambil kesempatan untuk menggali keuntungan besar-besaran (project moment), pada bulan yang diturunkannya kitab suci umat Islam.

Sepintas, meski film-film spiritual dikatakan untuk memberi pencerahan dan khazanah bagi umat islam, akan tetapi, jika diteliti lagi, kita akan menjumpai beberapa kejanggalan, alur cerita yang tidak rasional, penulisan skenario yang terkesan terburu-buru, dan penafsiran agama yang membuat umat terikat simbol-simbol formal tanpa pemaknaan mendalam atas pesan-pesan kemanusiaan. Dalam konteks ini, nalar kapitalistik beragama telah mengaburkan dimensi spiritualitas. Dengan kata lain, telah terjadi komersialisasi spiritual dalam beragama, yang menimbulkan hilangnya makna esensi agama dalam mencerahkan kehidupan manusia.


Bagi Muhammadun AS, Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta, tragedi komersialisasi beragama yang kini sedang marak ditimbulkan oleh beberapa hal. Pertama, masih terjebak dalam keberagamaan formalistik. Keberagamaan yang mengalir dalam urat nadi hanya "pemanis". Beragama menjadi khusyuk hanya dalam sesaat atau bahkan hanya mengikuti tuntutan lingkungan.
Seandainya tidak ada bulan Ramadhan, seolah kita tidak akan menonton hal-hal yang bersifat religius. Maka tak heran jika pasca-Ramadhan, kita akan kembali seperti semula. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta segala kejahatan kemanusiaan lain akan semarak lagi. Pada saat itu Ramadhan sebagai bulan yang dialamatkan Allah sebagai bulannya umat Muhammad, akan tercabik-cabik. Yang tersisa hanya puing-puing ibadah temporal yang tak memberi nilai dan daya beragama secara revolusioner.

Kedua, Ramadhan telah dijadikan komoditas kapitalistik. Berbagai industri media dan stasiun TV berpacu memanfaatkan Ramadhan untuk menayangkan program-program dakwah, dengan semua artis manggung di TV dengan pakaian islami.

Menghadapi realitas pelik ini, masih menurut Muhmmadun, perlu dibangun kembali nalar keberagamaan yang sedang tercabik-cabik. Yakni bagaimana kita menghadirkan kembali makna substantif agama dan meluruskan kembali makna dan nilai spiritual yang terkandung dalam tayangan sinetron itu. Respiritualisasi ini agar kita tidak terjebak ke dalam sinyalemen Rasulullah, "berapa banyak amal yang berwujud amal akhirat tetapi menjadi amal dunia karena niat yang jelek dan berapa banyak amal yang berwujud amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena niat yang baik". Hadis itu mengindikasikan Ramadhan harus disambut dengan ibadah, bukan dengan gegap gempita melalui berbagai kegiatan yang tidak berkaitan langsung atau tidak langsung dengan Ramadhan. Salah mengartikulasi dan menginterpretasi puasa, hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga.

Jika demikian, mampukah ramadhan menghambat laju hedonisme, jika kenyataanya dewasa ini masyarkat kita masih terkesan menjadikan agama sebagai “pemanis” semata? Sekali lagi, jika ibadah puasa di bulan ramadhan dilakukan dengan maksimal, maka hasil yang kita dapatkan adalah bangkitnya jiwa seorang Muslim yang tangguh dalam menyelesaikan problem keberagamaan dan kebangsaan.

Semoga kita adalah bagian dari insan muslim yang beribadah secara kaffah, dan tiak terjebak pada simbol-simbol yang justru membingungkan kita dalam melaksanakan rutinitas keberagamaan. Wallahu’alam...

* Penulis adalah Ketua PMII STAIN Samarinda. CP;085250897198/ oepick_bill@yahoo.co.id. Alamat Web; www.billfagih.blogspot.com

Sunday, September 16, 2007

Memotret gelending ”Bola Panas” wacana PMII Cabang tandingan

Wacana deklarasi PMII STAIN Samarinda menjadi tandingan PC. PMII Samarinda menjadi buah bibir yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Pro dan kontra wacana ini telah menyita perhatian warga PMII Samarinda dan menempatkan kelompok yang pro deklarasi dengan argumentasinya di satu sisi dan kelompok yang kontra di sisi yang lain hingga menarik untuk disimak. “Mati” dan “Vakuum”-nya kinerja PC. PMII kota Samarinda periode 2006-2007 di bawah kepemimpinan sahabat Irawan HS menjadi alasan ideologis bagi kehadiran cabang tandingan ini, setidaknya hal tersebut yang muncul dipermukaan, berikut liputannya yang akan terbit berturut-turut selama 2 edisi ke depan, dan bagian pertama liputan ini hanya kami persembahkan kepada anda para pembaca, selamat menyimak.

Kasak-kusuk tentang deklarasi cabang tandingan atas PC. PMII Samarinda semakin menghangat. Setidaknya itu yang ditangkap oleh redaksi Sapulidi. Bermula dari statemen sahabat Amir Tajrid beberapa waktu lalu disela-sela follow up Mapaba PMII STAIN Samarinda di Gedung NU. Seakan membuka kembali kotak Pandora “memori kolektif” akan posisi STAIN Samarinda di Cabang PMII Samarinda yang pernah menorehkan sejarah kelam.

Dalam perjalanan Cabang PMII Samarinda memang terkesan menganak-tirikan Komisariat STAIN Samarinda, menurut pengamatan redaksi begitu pula dalam kepengurusan PC. PMII Samarinda periode 2006-2007 bahkan tak satu pun dari kepengurusan PC. PMII Samarinda yang mengakomodir kader dari STAIN Samarinda.

Semakin aktifnya gerak aktivitas Komisariat STAIN Samarinda beserta sayap-sayapnya di beberapa rayon seperti Rayon Tarbiyah, menguatkan indikasi atau gambaran akan kebangkitan gerakan PMII STAIN Samarinda akhir-akhir ini. ”….Banyak yang sudah kami lakukan, dan akan lebih banyak lagi yang akan kami lakukan guna membesarkan PMII…” tegas Marfu’atin Muthoharoh Ketua Komisariat PMII STAIN Samarinda di sela-sela pidato pembukaan follow up MAPABA bagi sahabat-sahabat Pondok Pesantren Mahasiswa (Pesma) STAIN Samarinda beberapa waktu lalu.

Berikut juga petikan perbincangan redaksi dengan Sahabat Amir Tajrid, M.Ag ketika diminta tanggapan soal posisi STAIN Samarinda dan posisi Cabang PMII Samarinda. “… Kalian sudah mumpuni untuk membuat cabang sendiri seperti di Jawa…Kan di peraturan organisasi juga diatur untuk itu?” selorohnya. “…Jika hal itu lebih baik daripada kalian selalu menjadi warga kelas dua…” tambahnya lagi dengan nada tinggi. Menurut sahabat Amir dengan intensitas program kerja Komisariat seperti sekarang ini seharusnya Cabang PMII Samarinda merasa malu dan belajar tidak melulu larut dalam kevakuman.

Sumber lain yang tidak ingin disebutkan namanya (tentunya adalah bagian dari warga pergerakan) mengatakan bahwa kinerja Cabang PMII Samarinda yang tidak optimal terlihat pula dari beberapa kegiatan atau program terakhir Cabang, misalnya saja acara Harlah PMII, April lalu, kesiapan yang tidak matang menyebabkan acara-acara PMII terkesan tidak jelas dan tidak memiliki daya tawar bagi kader. Kader pun akhirnya memilih untuk mencari kegiatan lain yang lebh bermanfaat menurut mereka. Begitu kesimpulan perbincangan redaksi dengan sumber yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut.

Cabang STAIN Samarinda, Mungkinkah?

Dalam sejarah perjalanan PMII di Samarinda, munculnya cabang tandingan memang pernah terjadi yaitu pada periode kepemimpinan sahabat Faisal, 2004-2005. saat itu PMII Metro Samarinda berdiri, walaupun memang benih-benih lahirnya Cabang Metro Samarinda sudah muncul lebih dahulu dengan nama Cabang Metro Unmul pada periode sebelumnya lagi yaitu periode kepeminpinan Sahabat Abdul Wahid (2002-2003).

Kilas sejarah cabang “tandingan” di atas menunjukkan betapa wacana pendirian cabang tandingan dimunculkan oleh sahabat-sahabat dari Unmul Karena tidak puas dengan kepemimpinan cabang “resmi” yaitu pada periode Sahabat Abdul Wahid dan periode Sahabat Faisal. Ketidakpuasan itu mengkristal dengan dibentuknya cabang tandingan, namun dari data yang dihimpun ole redaksi, hampir semua cabang tandingan yang muncul tidak berumur panjang bahkan terkesan hanya membangun daya tawar tanpa tujuan yang betul-betul kualitatif.

Sedangkan dalam sejarah PMII di luar Samarinda, Cabang tandingan yang juga pernah muncul di tempat lain seperti di Makassar, Sul-Sel. Adalah berdirinya PMII Cabang Metro Makassar. Berbeda dengan kasus di samarinda kehadiran dan eksistensi PMII cabang Metro makassar justru sebaliknya, mampu eksis bahkan menjadi lokomotif kaderisasi dan gerakan di kota makassar hingga hari ini. Tujuan kualitatif berupa ideologisasi justru berjalan dinamis dan mampu menandingi bahkan “mengalahkan” kinerja Cabang kota Makassar sendiri. Indikatornya juga dapat dilihat bagaimana sahabat Isro d Pramulyo kader PMII Metro Makassar justru muncul dibursa kandidasi pimpinan PB. PMII 2003 dan akhirnya terilih mendampingi sahabat A. Malik Haramain sebagai Sekjend PB.PMII periode 2003-2005 yang lalu.

Lalu menilik berbagai kilas sejarah dan pengalaman di atas bagaimanakah peluang dan tantangan wacana PMII Cabang STAIN samarinda kedepan? Hanya waktu yang dapat menjawabnya. Munculnya wacana Cabang tandingan di Samarinda oleh PMII STAIN Samarinda haruslah di amati secara arif, dan apabila dilihat dari peluang maka kesiapan kualitatif yang hari ini dimiliki oleh kader-kader PMII STAIN dapat dibilang siap dan meyakinkan. Lalu Bagaimana jua dengan kesiapan kuantitatif berupa pemenuhan kuota dan jumlah kader dan syarat-syarat yuridis-legal-formal yang dicantumkan dalam AD-ART? Minggu depan kami akan mengulasnya lebih jauh….(Bersambung edisi depan)

Saturday, September 15, 2007

Berita


Mewaspadai Gerakan Islam Ekstreem menjelang suma


Sapulidi, SUMA digelar, perhelatan untuk merebut posisi kepresidenan mahasiswa pun telah dimulai. Seperti tahun-tahun sebelumya, SUMA selalu menjadi perhatian yang menyedot dan menyibukkan beberapa elemen mahasiswa untuk ikut bertarung dan merebut posisi nomor satu di strukutur organisasi kemahasiswaan ini, biasanya yang paling menonjol adalah pertarungan idiologi antar organ-organ kemahasiswaan.

Kali ini tim sapulidi ingin memotret segala proses dinamika yang terjadi menjelang SUMA, dan dari data yang dihimpun kami berhasil menangkap bahwa ternyata teman-teman mahasiswa dari kelompok yang berhaluan atau berideologi Islam garis keras (ekstrim) diam-diam mulai melakukan konsolidasi guna menyusun kekuatan dan mempersiapkan amunisi untuk ikut bertarung di SUMA, berikut adalah hasil petikan wawancara sapulidi kebeberapa responden menanggapi hal ini.

Diantaranya adalah sahabat Dion, yang ketika dimintai tanggapannya, dia mengatakan bahwa sahabat-sahabat harus mewaspadai hal itu, kalau sampai mereka yang berhasil menjadi pemimpin, “kampus kita akan menjadi menakutkan dan mengerikan, karena karakter mereka itu tidak suka kompromi, anti perbedaan dan tidak dialogis, mereka itu hobinya menyesat-nyesatkan dan mengkafir-kafirkan orang atau kelompok lain, mengklaim dirinya paling benar. Saya tidak tahu apa jadinya kampus kita jika dipimpin oleh mereka, pasti iklim demokrasi dan dinamika kampus tidak ada lagi seperti yang terjadi di kampus-kampus lain yang berhasil mereka kuasai, Dan itu yang membedakan kita di PMII,” tambahnya, kita dengan sikap toleransi yang tinggi terhadap semangat Aswaja selalu menghargai dan memiliki semua perbedaaan dan keragaman”. Jelas mantan Presiden Mahasiswa ini.

Memang jika ingin ditiliki lebih jauh mereka itu adalah gerakan sempalan yang pada awalnya bersumber dari gerakan Islam yang muncul di Timur Tengah yang dikenal dengan istilah “gerakan Wahabisme” (diambil dari nama pendirinya Abdul Wahab), kemudian bermetamorfosa menjadi ikhwanul muslimin di Mesir dan sekarang menular ke Indonesia termasuk yang hari ini muncul di kampus STAIN.

Yang cacat dari gerakan mereka adalah sangat syarat dengan misi ideologi “Arabisasinya”, mereka berambisi ingin meng-Arab-kan disetiap aspek kehidupan kita dari cara berpakaian hingga tingkah laku, bagi mereka tolak ukur kebenaran adalah Arab –padahal kita maklum tidak semua yang dari arab itu baik dan tidak semua yang kita miliki disini itu buruk sehingga harus diganti dengan kebiasaan Arab– mereka tidak sadar gerakan mereka melukai dan mencederai kultur lokal.

Tradisi gurun pasir tidak pantas untuk diterapkan di Indonesia yang secara historiografis dan kondisi sosiologis sangat jauh berbeda ditambah lagi keragaman yang kita miliki.

Sejarah pun juga telah banyak bicara bagaimana awal mula masuknya Islam di Indonesia, dengan melalui cara-cara santun, berdialog dan melebur bersama tradisi-tradisi lokal, ini yang menyebabkan Islam lebih mudah diterima di Indonesia, seperti yang dilakoni oleh Wali Songo, mereka hampir meng-Islam-kan seluruh Jawa dengan cara-cara pendekatan budaya dan tradisi, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga menyebarkan Islam melalui kesenian Wayang Kulit dan musik misalnya.

Nah disinilah peran penting yang dimiliki PMII, dengan semangat paradigmanya mampu meramu antara misi-misi luhur Islam dengan kearifan budaya lokal. Dalam gerakannya PMII tidak pernah a-historis, selalu melihat kondisi kontekstual dimana dia berada, pemahaman Islamnya PMII adalah rahmatan lilalamin.

Di kesempatan yang lain sahabat Arifudin yang juga berhasil dimintai tanggapannya, dia melihat kalau teman-teman gerakan Islam garis keras itu adalah orang-orang yang baru belajar tentang Islam “mereka itu sebenarnya baru mengenal Islam sehingga wajar jika mereka menganggap apa yang mereka pahami paling benar, pemahaman Islam mereka masih sangat dangkal, padahal jika seandainya mereka tahu bagaimana ramainya ruang kontersi penafsiran dan dinamika pemikiran dalam dunia Islam, saya yakin mereka pasti malu dengan sikap mereka hari ini.” Jelasnya.

Ketua MPM yang sebentar lagi lengser ini menambahkan, fenomena ini bisa dilihat, mereka hanya bisa berkembang di kampus umum yang memang latar belakang mahasiswanya bisa dikatakan pemahaman Islamnya “pas-pasan”, sementara di Kampus Islam seperti STAIN yang latar belakang mahasiswanya memiliki basic agama yang kuat (dari pesantren dan sekolah Islam) malah justru mereka tidak berkembang.” “saya yakin setelah wawasan ke-Islam-annya dan pemahaman agamanya sudah luas mereka pasti akan memilih untuk masuk di PMII,” tambahnya.

Sementara dari sisi lain sahabat Mashud lebih menyoroti pada orientasi gerakan mereka, “sebenarnya bukan hanya persoalan minimnya pemahaman agama, tapi gerakan yang mereka bangun memiliki sasaran atau target-taget politik, merekakan under bow salah satu Partai Politik Islam, gerakan di kampus adalah strategi mereka untuk mencari massa dukungan ditingkatan mahasiswa saja. Contohnya di salah satu kampus di Samarinda yang saat ini mereka kuasai, di moment-moment pemilihan seperti pilkada misalnya, mereka diarahkan untuk mendukung calon Partai politiknya dan mahasiswa-mahasiswa tersebut dijadikan mesin untuk berkampanye dan menjadi tim suksesnya. Hal ini bisa diidentifikasi dengan seringnya mereka membawa atribut partai politik ke dalam Kampus seperti stiker, panpel dan sebagainya. Pada dasarnya agama hanya dijadikan kedok untuk mencari simpati dalam memuluskan ambisi mereka untuk merebut kekuasaan.

Menyusup Melalui Pesma

Harus diakui keberadaan Pesantren mahasiswa sangat menghambat gerak–langkah gerakan mahasiswa saat ini, bagaimana tidak, mahasiswa baru ditempatkan jauh dari kampus, mereka diasingkan dari dunia kampus, sehingga komunikasi dan intensitas gerakan antara sahabat-sahabat gerakan dengan mahasiswa baru menjadi terputus dan miscomunisation, misalnya saja yang terjadi saat ini bagaimana gerakan yang dibangun kawan-kawan di BEM yang menyoroti kebijakan Pesma ternyata tidak sinerji dan tidak nyambung dengan kawan-kawan mahasiswa baru disana, malah terjadi cless (kesalahpahaman) diantara keduanya, jika ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada inisiatif untuk memediasi maka akan berakibat vatal bagi gerakan mahasiswa di kampus STAIN Samarinda.

Melihat kondisi seperti ini, dimanfaatkan oleh kelompok Islam garis keras tersebut untuk menyusupi mereka dan mulai menebar racun ideologinya, seperti pengakuan salah satu sumber kami disana yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa mereka sering berkunjung dan terus melakukan pendekatan dengan massif dan intensif “mereka sih kesana dengan alasan mengunjungi rekan atau sanak famili tapi siapa yang tahu kalau mereka juga membawa misi untuk menebar ideloginya” tambahnya. (bill)

Ada Puasa di Setiap Agama

Ada Puasa di Setiap Agama
Sebuah Tradisi Menuju Inklusifitas


Oleh : M. Taufik Bill Fagih*

Walhasil, dengan beraneka ragam tujuan, dan didorong oleh motivasi
yang berwarna, puasa dilakukan – demi kesehatan, pengendalian diri,
mengurangi berat badan, memperlambat proses penuaan, bahkan ingin
memperoleh kecantikan. Namun sejak awal sejarah kemanusiaan puasa
lebih dikenal sebagai ajang gerakan spiritual. Sikap menahan diri dari
segala kebutuhan biologis jasmani, dianggap sebagai bentuk aktualisasi
diri terhadap Sang Maha Tinggi. Puasa juga disimbolkan sebagai bentuk
pembebasan dari pasungan sifat kebinatangan manusia yang menghambat
ruang gerak menuju Tuhan.

Semenjak jaman dahulu hingga sekarang, hampir semua agama dan aliran
filsafat keagamaan menganjurkan bershaum untuk tujuan penyucian jiwa.
Seperti aliran filsafat Yunani_Romawi kuno, Pythagorean, berpendpat
bahwa puasa merupakan cara untuk meraih kembali sifat dasar hakikat
manusia. Shaum (puasa) bagi para elit agama Hindu dan lainnya
merupakan agenda rutin. Khususnya untuk mempersiapkan diri dalam
memasuki upacara-upacara ritus keagamaan. Demikian halnya dengan
tradisi klasik agama-agama di Cina. Chai (ritual puasa fisik), yang
kemudian dimodifikasi oleh aliran Cina Taoisme menjadi Hsin Chai
(puasa jiwa) yang merupakan ajaran khusus.

Agama Budha-pun ada tradisi puasa. Walau Siddha Gautama ("Mbahnya"
Budhisme) menganjurkan moderasi dalam praktek puasa, tidak sedikit
para Budhisme (pengikut Budha) yang melakukan puasa pada hari-hari
biasa (makan sekali dalam sehari), dan puasa penuh pada awal dan
pertengahan bulan. Pada masa mutakhir, Budhisme banyak yang berpuasa
empat kali sebulan sebagai bentuk intropeksi diri.

Dalam tradisi Mesir Kuno, para "ulama"-nya berpuasa setiap kali
menerima pesan-pesan Tuhan. Hal ini karena puasa dianggap dapat
mempertajam fungsi indra dan menjernihkan rasio, sehingga tabir
kebenaran mudah tersingkap.

Masyarakat "kuno" atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat
"primitif", berpuasa guna mendapatkan sesuatu yang magis (kekuatan
gaib) agar dapat mengatasi kebiadaban alam lingkungannya. Bagi mereka,
objek-objek alam sangat mempengaruhi terjadinya malapetaka. Untuk
menghambat "kebrutalan" objek-objek alam inilah maka puasa berkala
dilakukan. Selain itu, mereka juga percaya bahwa kekuatan-kekuatan
"iblis" sering menyelinap ke jiwa manusia melalui makanan. Dengan
demikian agar terhindar dari godaan `syetan' mereka pun berpuasa
sebagai bentuk penyucian jiwa dan alat untuk mempersatukan hubungan
mereka dengan Yang Maha Kuasa.

Meski bukan karena motivasi keagamaan, pada moment-moment tertentu
puasa dijadikan sebagai ajang peningkatan moralitas dan budi luhur.
Bagi yang berpuasa seperti ini biasanya bertujuan untuk melampaui
tingkat moralitas rata-rata anggota masyarakatnya. Dan puasa yang
demikian pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi ketika ia memprotes aksi
kekerasan yang melanda masyarakatnya.
Agama Yahudi, Kristen dan Islam, juga menjadikan puasa sebagai media
standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan rahmat
dan ampunan dari Sang Khalik. Dalam bahasa Islamnya, shaum mengantar
kepada maghfirah (pengampunan dosa), rahmah (anugerah rahmat) dan
al-barqah (mendapatkan keberkahan) sebagaimana yang pernah disabdakan
Nabi Muhammad Saw.

Orang-orang Yahudi berpuasa dalam tiga kesempatan. Pertama, persiapan
untuk melaksanakan tugas keagamaan. Kedua, pada saat-saat berduka.
Ketiga, mereka berpuasa dalam rangka bertobat dan mendekatkan diri
pada Yahweah, khususnya dalam suasana menghadapi kesulitan. Namun,
agama Yahudi hanya mewajibkan berpuasa bagi kaumnya sehari dalam
setahun, yakni pada hari Taubat. Pada umumnya jama'ah Yahudi tidak
meninggalkan kewajiban ini. Dan dalam tradisi mereka, puasa
Senin-Kamis pun dianjurkan, sebagaimana sunnah Rasul Saw dalam agama
Islam.

Dalam agama Kristen, tradisi puasa dilakukan karena mengikuti jejak
Isa a.s yang melaksanakan puasa selama 48 hari di Sahara sebagai betuk
pendekatan diri kepada Tuhan. Isa a.s menganjurkan kaumnya berpuasa
dengan hati yang tulus dan dibarengi sikap mengingat Tuhan dan berbuat
kebajikan.

Sementara dalam Islam, puasa bertujuan untuk memperoleh ketaqwaan
(al-Baqarah; 183). Tujuan tersebut dapat tercapai hanya dengan
menghayati arti puasa itu sendiri. Sabda Nabi Saw: "Betapa banyak yang
berpuasa namun hanya merasakan lapar dan dahaga saja". Hampir sama
dengan apa yang dianjurkan Isa a.s "Berpuasalah dengan hati tulus dan
dibarengi dengan sikap mengingat Tuhan dan berbuat kebajikan."

Dengan melihat apa yang telah kami wacanakan di atas, tentang tradisi
puasa yang merupakan milik setiap agama (meski tidak semua agama dan
aliran kepercayaan kami sebutkan), maka kita harus mampu menunjukkan
apresiasi terhadap siapa saja yang bershaum. Sikap apresiatif,
sekurang-kurangnya dengan menahan diri untuk tidak secara terbuka dan
sengaja membagkitkan rasa lapar dan dahaga orang yang telah
melaksanakan ibadah puasa tersebut. Di samping itu kita juga harus
mengkatualisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam puasa
sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing.

Mungkin begitu…wallahu `alam ….
* Penulis adalah anak Quraisy… oepick_bill@ yahoo.co. id