Sebuah Tradisi Menuju Inklusifitas
Oleh : M. Taufik Bill Fagih*
Walhasil, dengan beraneka ragam tujuan, dan didorong oleh motivasi
yang berwarna, puasa dilakukan – demi kesehatan, pengendalian diri,
mengurangi berat badan, memperlambat proses penuaan, bahkan ingin
memperoleh kecantikan. Namun sejak awal sejarah kemanusiaan puasa
lebih dikenal sebagai ajang gerakan spiritual. Sikap menahan diri dari
segala kebutuhan biologis jasmani, dianggap sebagai bentuk aktualisasi
diri terhadap Sang Maha Tinggi. Puasa juga disimbolkan sebagai bentuk
pembebasan dari pasungan sifat kebinatangan manusia yang menghambat
ruang gerak menuju Tuhan.
Semenjak jaman dahulu hingga sekarang, hampir semua agama dan aliran
filsafat keagamaan menganjurkan bershaum untuk tujuan penyucian jiwa.
Seperti aliran filsafat Yunani_Romawi kuno, Pythagorean, berpendpat
bahwa puasa merupakan cara untuk meraih kembali sifat dasar hakikat
manusia. Shaum (puasa) bagi para elit agama Hindu dan lainnya
merupakan agenda rutin. Khususnya untuk mempersiapkan diri dalam
memasuki upacara-upacara ritus keagamaan. Demikian halnya dengan
tradisi klasik agama-agama di Cina. Chai (ritual puasa fisik), yang
kemudian dimodifikasi oleh aliran Cina Taoisme menjadi Hsin Chai
(puasa jiwa) yang merupakan ajaran khusus.
Agama Budha-pun ada tradisi puasa. Walau Siddha Gautama ("Mbahnya"
Budhisme) menganjurkan moderasi dalam praktek puasa, tidak sedikit
para Budhisme (pengikut Budha) yang melakukan puasa pada hari-hari
biasa (makan sekali dalam sehari), dan puasa penuh pada awal dan
pertengahan bulan. Pada masa mutakhir, Budhisme banyak yang berpuasa
empat kali sebulan sebagai bentuk intropeksi diri.
Dalam tradisi Mesir Kuno, para "ulama"-nya berpuasa setiap kali
menerima pesan-pesan Tuhan. Hal ini karena puasa dianggap dapat
mempertajam fungsi indra dan menjernihkan rasio, sehingga tabir
kebenaran mudah tersingkap.
Masyarakat "kuno" atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat
"primitif", berpuasa guna mendapatkan sesuatu yang magis (kekuatan
gaib) agar dapat mengatasi kebiadaban alam lingkungannya. Bagi mereka,
objek-objek alam sangat mempengaruhi terjadinya malapetaka. Untuk
menghambat "kebrutalan" objek-objek alam inilah maka puasa berkala
dilakukan. Selain itu, mereka juga percaya bahwa kekuatan-kekuatan
"iblis" sering menyelinap ke jiwa manusia melalui makanan. Dengan
demikian agar terhindar dari godaan `syetan' mereka pun berpuasa
sebagai bentuk penyucian jiwa dan alat untuk mempersatukan hubungan
mereka dengan Yang Maha Kuasa.
Meski bukan karena motivasi keagamaan, pada moment-moment tertentu
puasa dijadikan sebagai ajang peningkatan moralitas dan budi luhur.
Bagi yang berpuasa seperti ini biasanya bertujuan untuk melampaui
tingkat moralitas rata-rata anggota masyarakatnya. Dan puasa yang
demikian pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi ketika ia memprotes aksi
kekerasan yang melanda masyarakatnya.
Agama Yahudi, Kristen dan Islam, juga menjadikan puasa sebagai media
standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan rahmat
dan ampunan dari Sang Khalik. Dalam bahasa Islamnya, shaum mengantar
kepada maghfirah (pengampunan dosa), rahmah (anugerah rahmat) dan
al-barqah (mendapatkan keberkahan) sebagaimana yang pernah disabdakan
Nabi Muhammad Saw.
Orang-orang Yahudi berpuasa dalam tiga kesempatan. Pertama, persiapan
untuk melaksanakan tugas keagamaan. Kedua, pada saat-saat berduka.
Ketiga, mereka berpuasa dalam rangka bertobat dan mendekatkan diri
pada Yahweah, khususnya dalam suasana menghadapi kesulitan. Namun,
agama Yahudi hanya mewajibkan berpuasa bagi kaumnya sehari dalam
setahun, yakni pada hari Taubat. Pada umumnya jama'ah Yahudi tidak
meninggalkan kewajiban ini. Dan dalam tradisi mereka, puasa
Senin-Kamis pun dianjurkan, sebagaimana sunnah Rasul Saw dalam agama
Islam.
Dalam agama Kristen, tradisi puasa dilakukan karena mengikuti jejak
Isa a.s yang melaksanakan puasa selama 48 hari di
pendekatan diri kepada Tuhan. Isa a.s menganjurkan kaumnya berpuasa
dengan hati yang tulus dan dibarengi sikap mengingat Tuhan dan berbuat
kebajikan.
Sementara dalam Islam, puasa bertujuan untuk memperoleh ketaqwaan
(al-Baqarah; 183). Tujuan tersebut dapat tercapai hanya dengan
menghayati arti puasa itu sendiri. Sabda Nabi Saw: "Betapa banyak yang
berpuasa namun hanya merasakan lapar dan dahaga saja". Hampir sama
dengan apa yang dianjurkan Isa a.s "Berpuasalah dengan hati tulus dan
dibarengi dengan sikap mengingat Tuhan dan berbuat kebajikan."
Dengan melihat apa yang telah kami wacanakan di atas, tentang tradisi
puasa yang merupakan milik setiap agama (meski tidak semua agama dan
aliran kepercayaan kami sebutkan), maka kita harus mampu menunjukkan
apresiasi terhadap siapa saja yang bershaum. Sikap apresiatif,
sekurang-kurangnya dengan menahan diri untuk tidak secara terbuka dan
sengaja membagkitkan rasa lapar dan dahaga orang yang telah
melaksanakan ibadah puasa tersebut. Di samping itu kita juga harus
mengkatualisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam puasa
sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing.
Mungkin begitu…wallahu `alam ….
* Penulis adalah anak Quraisy… oepick_bill@ yahoo.co. id
Saturday, September 15, 2007
Ada Puasa di Setiap Agama
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment