MENEGUHKAN PLURASLISME
DITENGAH PLURALITAS BANGSA*
Muhammad Ridhwan Idris ◙
- Dasar Pemikiran
“No peace among the nations without peace among the religious. Tidak ada perdamaian antar-bangsa tanpa perdamaian antar-agama”.
“Hans Kung (Pakar teolog di Universitas Tubingen, Jerman)”
Dalam agama-agama, menurut Hans Kung, terdapat nilai-nilai bersama bahwa, seluruh agama beserta syariat dan ritual-ritual peribadatannya berada dalam satu kata. Yaitu semua agama menganjurkan untuk mencintai sesama, menghormati tetangga, berbelas-kasih pada orang lemah dan orang miskin, dan menyerukan amar-makruf (mengajak pada kebaikan) nahi munkar (mencegah kemungkaran). Di samping itu, agama-agama pastinya juga melarang pembunuhan, bohong, hasut, fitnah dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Nilai-nilai idealis ini terdokumentasikan dalam ajaran agama masing-masing. Dengan mudah bisa dilacak dalam kitab-kitab suci, seperti Kitab Injil, Al-Qur’an, Hadis Nabi, Taurat, dan prinsip-prinsip dasar keagamaan Hindu, Budha, dan Konfusianisme. Semuanya mengungkapkan akan satu hal yang sama, namun dengan cara yang beranekaragam, atau ungkapan-ungkapan bahasa yang berbeda.
Pandangan ini bisa disimpulkan bahwa esensi agama adalah satu, yaitu seluruh agama dimungkinkan untuk bertemu dalam satu ruang dan titik tertentu. Hal ini tentu saja dengan syarat, jika perbedaan-perbedaan non-fundamental - sebagai faktor yang selama ini berperan besar dalam memecah agama-agama dan sebagai alat justifikasi oleh kelompok konservatif-ekstrem untuk menebarkan teror, permusuhan dan kebencian–bisa dieliminasi dan disingkirkan.
Agama sebagai ujung tombak yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan, secara serentak berubah menjadi pemicu konflik dan kekerasan yang tidak lagi menghargai sama sekali atas nilai-nilai kemanusiaan. Sudut pandang seperti ini, tidak bisa dinapikan begitu saja, karena secara historis antara Barat (Kristen) dan Islam telah terjadi suatu ketidak harmonisan baik secara struktural maupun kultural. Hal ini ditandai dengan adanya saling kecurigaan yang besar dan tersumbatnya jalur komunikasi dan dialog untuk saling memahami antarsatu sama lainnya.
Masing-masing pihak kurang bersifat “terbuka” terhadap pihak lain yang akhirnya menyebabkan salah paham dan salah pengertian. Jika suatu agama berhadapan dengan agama lain, masalah yang sering muncul adalah perang truth claimsalvation claim (keyakinan dari pemeluk agama tertentu yang menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia). Secara sosiologis, truth claim dan salvation claim ini dapat menimbulkan berbagai konflik sosial-politik, yang mengakibatkan berbagai macam perang antar agama yang sampai sekarang masih menjadi kenyataan di zaman modern ini.
Dalam konteks ini, pemikiran Nurcholish Madjid tetap menjadi acuan dalam arus utama pluralisme di Tanah Air, apa yang pernah digagas oleh Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) perlu mendapat aprsiasi (terlepas suka atau tidak suka), mengingat akan kemajemukan bangsa ini, baik secara etnik, bahasa, budaya, agama dan mazhab, sebagaimana awal Islam datang di negeri ini dengan tidak serta merta melabrak tatanan sosial masyarakat yang ada, melainkan datang membawa penuh kedamaian dan tetap menghargai sosio-budaya yang hidup ditengah masyarakat, aspek penting dari desiminasi Islam ini adalah adanya pengakuan akan yang lain (muqabalah li al akhar) dalam arti yang luas Islam mampu menyesuaikan diri dengan nilai–nilai etisnya dan tetap eksis bersama dengan penuh keharmonisan ditengah setting sosial dimana ia ditempatkan.
Nurcholis Madjid menandaskan bahwa pluralistas adalah suatu kenicayaan yang tak dapat dibantah eksistensinya, sementara pluralisme adalah suatu bentuk pilihan sikap dalam merespon dan menyikapi berbagai komponen bangsa yang majemuk. Terasa perlu ditegaskan disini bahwa wawasan pluralisme yang pernah diwacanakan Cak Nur adalah Jauh dari konteks menyamaratakan semua agama, bukan penyatuan agama-agama (al wahdatul al adyan) seperti apa yang disangkakan oleh banyak kalangan (bukan untuk apologi bukan pula hanya berkuta masalah kafir - Islam). Melainkan sebuah sikap yang mengedepankan moralitas dalam berkebangsaan yang dikiikat dengan semangat pembangunan dan peradaban bangsa tanpa menjadikan latar belakang yang majemuk sebagai hambatan, baik secara kebudayaan maupun anutan kepercayaan, Cak Nur mengilustrasikan dengan peradaban mesopotamia, konon Peradaban Mesopotamia pernah berjaya dalam kurun dan rentan waktu yang lama, hal demikian tidak lain karena kemampuan masyarakatnya menyikapi dan memperdayakan perbedaan. Hal ini penting sebagai romantisisme pilar atau poros utama untuk membangun negeri ini, seiring dengan semangat demokrasi dan falsafah bangsa Indonesia.
- Semangat Pluralisme dalam Islam
Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing “pejalan” disemangati oleh etos ber musabaqah
support teologis dengan rujukan Alqur’an langsung untuk membenarkan pluralisme. Sebab, kalau bicara soal Islam, rujukan utama kita adalah Alqur’an. Buku Gamal Al-Banna Doktrin Pluralisme dalam Alqur’an yang (terjemahan dari Arab). Di situ antara lain ditegaskan al-i`tirâf biwahdaniyatilLâh yaqtadlî al-i’tirâf bita`addudiyyati ghairihi (pengakuan akan keesaan Tuhan mensyaratkan pengakuan akan kebhinekaan lainnya) yang banyak dikutip dari buku Gamal Al-Banna itu. Dalam buku Al-Banna itu sangat menarik. Pertama, karena posisi Al-Banna yang mendukung pluralisme memang menarik bagi kita. Sebab, dia pernah juga menjadi seorang fundamentalis. Dia pernah masuk penjara dan bekerja untuk pembenahan instalasi listrik bersama tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimun lainnya di Mesir.
Gamal Al-Banna pasti punya hubungan kekeluargaan dengan Hasan al-Banna (Gamal memang adik bungsu Hassan Al-Banna, pendiri kelompok Ikhwanul Muslimin). Kita tahulah bahwa Hassan Al-Banna adalah idolanya kaum fundamentalis. Dan adiknya ini pernah pula masuk penjara demi mempertahankan fundamentalismenya. Nah yang menarik bagi kita, dalam posisi yang sangat fundamentalis itu, kita masih menemukan dalam dirinya pandangan-pandangan yang sangat pluralistik. Dia hafal Alquran dan memberi argumennya dari Alquranul karim sendiri.
Tentang pandangan Al-Banna dia mengatakan, Thomas Alva Edison itu pasti akan masuk surga. Sebab, berkat temuannya jutaan umat manusia dapat diterangi dan kita menikmati kenyamanan-kenyamanan hidup seperti kulkas dan AC. Itu semua berkat jasa Alva Edison. Orang-orang fundamentalis di sekelilingnya menyangkal, ”Tak mungkin si Thomas masuk surga. Dia kan kafir?!” Dengan mengutip Alqur’an, Al-Banna menjawab: “Sekiranya manusia punya wewenang untuk mengelola perbendaraan kasih sayang Tuhannya (khazâinna rahmati Robbi), pastilah mereka akan menahannya untuk kelompoknya saja.” Lalu diujung ayat itu dikatakan, ”Sesungguhnya manusia itu memang bahil Karena bakhil, surga pun dikavling-kavling untuk kelompok mereka saja.
Bagi Kebanyakan orang “Islam”, surga hanya diperuntukkan bagi orang “Islam”. Dan bagi orang Kristen, mungkin ia hanya untuk orang Kristen. Masing-masing mereka menahan perbendaraan kasih sayang Tuhannya; enggan berbagi-bagi. ketika membicarakan pluralisme etosnya adalah Tuhan tidak ingin membatasi rahmat-Nya hanya untuk kelompok tertentu saja.
Plural-isme, Isme itu adalah sebuah paham. Sama halnya liberalsime, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, di dalam dunia akademis sebetulnya masih bagian dari religious studies atau pendekatan yang sekular untuk memahami gejala-gejala keberagamaan (religiounswanshaft). Pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut orientasi keberagamaan. Kita memang harus bisa membedakan pluralisme dan pluralitas. Pluralistas adalah kenyataan sosial ketika kita menyaksikan adanya masyarakat yang plural atau majemuk. Tapi pluralisme adalah sebuah paham dalam religious studies.
Banyak orang menyangka pluralisme itu punya definisi macam-macam. Sebenarnya tidaklah demikian, Di dalam dunia akademis, sudah ada kesepakatan dan batasan-batasan dalam defenisinya. Misalnya, ada penegasan bahwa pluralisme itu bukanlah sinkretisme. Pluralisme juga bukan menganggap semua agama sama. Bukan pula menganggap semua benar. Biasanya, pluralisme dibicarakan dalam tiga bagian atau dalam posisi berhadapan dengan dua posisi lainnya, yaitu ekslusivisme dan inklusivisme.
Jadi, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, menjawab satu pertanyaan mendasar di dalam studi keagamaan. Yaitu, siapakah yang akan selamat di akhirat nanti? Atau siapa yang kelak akan masuk surga? Bagi kaum ekslusivis, hanya golongan dan agama mereka saja yang akan selamat. Menurut kaum inklusivis, yang masuk surga hanya orang Islam dan orang-orang lain yang berakhlak islami. Tapi bagi mereka, Islam tetap sebagai kriteria pertama. Nah, kaum pluralis berpendapat bahwa orang yang selamat adalah siapa saja, apapun agamanya, selama memberi kontribusi yang baik bagi kemanusiaan (‘amal sholeh) di dunia ini.
Dalam masyarakat yang sangat pluralistik, atau ketika kita berhadapan dengan keragaman dalam teologi, kepercayaan, dan keyakinan, hanya pluralisme yang dapat diharapkan akan memberi ruang bagi toleransi. Tapi banyak sekali orang yang menolak pluralisme. Ketika kita mengatakan “Sudahlah, kita tak usah mengurus apakah orang masuk surga atau tidak. Itu bukan urusan kita. Serahkan saja urusannya ke pada Tuhan!” kita lupa, jawaban tentang siapa yang akan masuk surga itu akan sangat mempengaruhi kita dalam memandang agama lain, dan itu akan menjadi bingkai untuk memahami ajaran-ajaran agama lainnya. Ketika kita berpendapat bahwa semua orang, apapun agamanya, asalkan beramal saleh, akan masuk surga, apa yang akan terjadi pada diri kita setelah itu? Kita tentunya tidak akan menilai orang lain dari label-label keagamaannya. tanpa peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, kita akan berikan segala kemuliaan kepadanya.
Tapi bagi orang Islam yang berpandangan ekslusif, hanya orang Islam saja yang akan masuk surga. Orang lain tak akan. Apa yang akan tumbuh dari sikap demikian tak lain hanya prasangka-prasangka sosial. Nanti, kalau ada orang Kristiani yang membantu orang Islam, kita langsung curiga. Bahkan, akan ada dampak etis yang sangat fatal kalau kita merasa hanya orang Islam saja yang kelak masuk surga. Ketika kita melihat perilaku kita jauh lebih buruk dari perilaku orang beragama lain, kita akan selalu mencari justifikasi (pembenaran) untuk kekurangan kita. Kita katakan, ”mereka berbuat baik, tapi pasti tetap masuk neraka.”
Padahal, Alquran sendiri pernah menyindir orang-orang yang berkata demikian. Berkatalah orang-orang Yahudi: ”lan tamassana an-nâr illâ ayyâman ma`dûdât (kami tidak akan tersentuh api neraka kecuali sebentar saja). Sebab, kita adalah kekasih-kekasih Allah. Demikian pandangan sebagaian orang Yahudi.” Orang Yahudi juga mengklaim laisat an-nashârâ `alâ syai’ (orang-orang Nasrani itu tidak bakal mendapat apa-apa). Orang-orang Nasrani membalas, laisat al-yahûd `alâ syai’ (orang Yahudi juga tidak akan dapat apa-apa). Tapi di ujung ayat, Alqur’an menegaskan: ”Tilka amâniyyuhum!” (itu hanya angan-angan mereka saja). ”Waman ya`mal sû’an yuzâ bih”
Kalau kita baca buku-buku karangan Karen Armstrong, kita akan tahu bahwa di saat kaum muslimin berada dalam puncak kejayaan peradabannya, justru mereka sangat percaya diri untuk menganut pluralisme. Armstrong pernah bercerita tentang sindrom martir. Di situ dia terangkan bahwa dulunya, justru orang-orang Kristen yang selalu siap-siap untuk mati sahid. Dan demi mati syahid, mereka rela mengecam Islam, memaki-maki Rasulallah, dan melakukan tindakan lainnya. Tapi waktu itu, raja-raja Islam santai-santai saja, Sebab mereka tahu, mereka ingin syahid. Mereka dibiarkan saja dan tidak dihukum mati.
Adakah perbenturan antara konsep pluralisme dengan teologi masing-masing agama yang sudah dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam? seorang muslim yang pluralis, pasti akan menganut prinsip tauhid. Seorang kristiani yang pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi pluralisme itu adalah sebuah orientasi keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada di kalangan Islam, ada juga di kelompok Kristiani dan agama lain. Kalangan ekslusivis juga ada di berbagai agama dan masing-masing bisa merujuk pada kitab suci masing-masing.
Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku sosial kita. Tapi pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama saja karena dalam Alquran juga sudah dikatkan, ”walikullin ja`alna minkum syir`atan wa minhâja.” Artinya, bagi tiap-tiap agama, telah Kami tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing. Ditegaskan juga, ”walau syâ’alLâh laja`alakum ummatan wâhidah” (kalau Allah menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa menjadikan seluruh agama sama saja.
Tapi Alqur’an menjelaskan lebih lanjut, ”walâkin liyabluwakum” (Dia ingin menguji kalian), ”bimâ âtâkum” (dengan agama yang datang kepada kalian). Karena itu, kita dianjurkan untuk ”fastabiqul khairât” (berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan), karena ”ilayya marji`ukum jamî`an” (hanya kepada-Ku seluruh agama akan berpulang).”Ilayya marji`ukum fa unabbiukum bimâ kuntum ta`malûn; inna ilaynâ iyâbahum, tsumma inna `alaynâ hisâbahum.” Kepada-Ku juga kalian akan berpulang dan di situlah Aku akan memberitahu apa yang engkau lakukan. Semuanya akan berpulang pada Allah dan dia yang akan membuat perhitungan.
Ditengah masyarakat/komunitas akademik mengenal beberapa ayat al-Qur’an yang bisa dianggap bercorak pluralis, Lalu banyak orang yang bertanya, sejak kapan Islam mengajarkan pluralisme? Kalau dalam Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus Johanes Palus II. Sebenarnya pluralisme sudah ada sejak zaman Rasulullah tapi pembaca jangan membayangkan namanya “pluralisme” atau dalam bentuk teori tetapi ia eksis dan hidup langsung ditengah realitas komunitas Rasulullah . Dan menurut Karen Armstrong, ketika kaum muslimin berada dalam posisi yang kuat, mereka berwawasan sangat pluralistis namun Kaum muslimin mulai berpikir dan bersikap ekslusif ketika mereka dipojokkan dan merasa dikalahkan.
Konon, di zaman Rasullah ada seorang sahabat Ansar bernama Abu Husain. Dia punya dua anak. Tiba-tiba kedua anaknya pindah agama ke Kristen karena terpengaruh pedagang dari Suriah. Lalu dia membawa kedua anaknya kehadapan Rasulullah. ”Anak saya masuk Kristen. Apa boleh saya paksa masuk Islam?” tanyanya. ”Tidak,” kata Rasulullah. Lalu dibacakanlah ayat lâ ikrâh fid dîn (tidak boleh ada paksaan dalam agama).
ayat al-Qur’an yang berbunyi wamâ arsalnâka illâ rahmatan lil `âlamîn. Kami tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk menebar kasih ke seluruh alam. Menarik mengikuti pendapat Jalaluddin Rachmat kaitannya Rahmatan Lil ‘alamin, katanya, sebelum sampai pada tahapan rahmatan lil `alamin, kayaknya kita, kaum muslimin ini, mesti melewati dua tahapan sebelumnya. Tahap pertama adalah rahmatan lil mutamadzhibin. Artinya, yang kita anggap mendapat rahmat dan akan masuk surga hanya madzhab tertentu saja seperti Ahlus Sunnah. Sementara yang lain dianggap tidak akan masuk surga. Lebih tinggi dari tahapan itu atau yang kedua adalah rahmatan lil muslimîn (rahmat bagi semua orang Islam saja,). Di sini, surga itu dianggap khusus bagi orang atau pengikut Islam. Hemat penulis yang diinginkan Alqur’an dari kita dan nabi kita sangat sederhana: wamâ arsalanâka illâ rahmatan lil `âlamîn (menjadi rahmat bagi alam semesta). Semesta itu bukan islam saja termasuk didalamnya orang-orang kristen, protestan, hindu bahkan seluruh apa yang ada di alam ini.
- Signifikansi Pluralisme sebagai wawasan berkebangsaan
"Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-hujurat: 13).
Dalam ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini menandakan pluralitas manusia. Kebhinekaan bukan untuk saling menghilangkan, sebaliknya agar saling mengenal (lita'rafu). Mengenal artinya saling mengerti dan memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis.
Al-Quran juga sangat menyadari bahwa agama manusia berbeda-beda. Namun, perbedaan ini bukan dijadikan sebagai potensi untuk saling membunuh, sebaliknya dengan santun dan arif, al-Quran menawarkan alternatif pencarian titik temu (kalimatun sawa') masing-masing (Q.S. Ali Imran: 64). Terhadap perbedaan, al-Quran melawan keras tindakan diskriminasi. al-Quran lebih menekankan keadilan sebagai sikap yang ideal bagi perbedaan tersebut (Q.S. al-Maidah: 8). Atau kalau kita baca ayat demi ayat dalam al-Quran, maka yang ditampilkan adalah kepedulian terhadap wacana kemanusiaan. Karena itu ironis jika masih ada pemeluk agama yang mensikapi perbedaan dan kemajemukan sebagai ancaman (bukan rahmat). Ini menunjukkan cara berpikir dan proses pemahaman yang sempit.
Jika demikian, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem akut kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian dan sebagainya. Pendidikan yang dilaksanakan bukan merupakan penanaman wacana dalam fungsi organisatorisnya yang lebih mengedepankan terma perebutan wilayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan menampakkan ekspresi kecurigaan terus menerus dalam prosesnya dan antar sivitas pendidikan. Pendidikan seperti ini juga merupakan upaya pendangkalan wacana keagamaan.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak orang menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu peserta pendidikan diberikan kesempatan untuk mencerna "rasa keberagamaannya" dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Di sini peserta pendidikan tidak dipaksa memahami pemahaman dan pengalaman lain dalam bahasa sang guru. Peserta pendidikan dilatih untuk menggunakan kepekaan atas pluralitas dan memahaminya dengan bahasa batinnya sendiri.
Untuk maksud tersebut peserta pendidikan sejak awal sudah dipersaksikan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkrit, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara, dan beberapa tempat suci bagi agama atau kepercayaan tertentu. Pendidikan seperti ini diharapkan akan meminimalisir atau bahkan mengatasi kecenderungan perseteruan manusia atas nama agama atau keyakinan.
Dalam masyarakat yang relatif majemuk seperti di Indonesia pendidikan agama harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Di sini dipersyaratkan peninjauan ulang atas doktrin-doktrin agama yang kaku. Seperti halnya jihad bukan dipahami sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama. Melainkan, berarti mengubah sistem yang didasarkan pada istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (penekanan dan penindasan) serta penolakan terhadap yang munkar (ketidakadilan) (Asghar Ali Engineer; 1993 hal 11). Sisi radikalisasi seperti ini praktis mengandaikan sebuah kerjasama dengan pihak lain. Dalam proses kerjasama tersebut pendidikan agama harus mengambil perannya secara proaktif.
Pluralitas agama dan keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi keselamatan manusia. Di sini pendidikan agama memiliki peran penting untuk menumbuhkan sikap awal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Pendidikan agama harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan menemukan tradisi ilahi yang sama pada setiap agama, sehingga bisa bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh umat manusia.
Pengembangan sikap toleransi plus barang kali merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Untuk ini dialog antar umat beragama menjadi penting sebagai manifestasi membuka diri pengalaman keagamaan. Caranya anak diajak melihat kebaikan kelompok lain, tidak bersikap apriori, SARA dan berperilaku negatif terhadap orang atau kelompok lain. Atau dengan cara sharing penghayatan agama sesuai pengalaman spiritual yang dijalai secara terbuka. Dengan begitu akan terhindar dari informasi yang salah mengenai agama lain.
Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan dunia, pendidikan agama menjadi agen yang akan mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka. Karena dari dialog itu cita-cita masyarakat masa depan yang setia terhadap keyakinannya sendiri dan menghormati keterikatan manusia lain pada keyakinannya semakin terbuka. Penghargaan atas manusia lain dalam budaya, keyakinan serta pandangan dunianya menjadikan orang tidak bersikap radikal dan ideologis. Karena itu, kurikulum pendidikan agama juga harus bisa memberikan jaminan bagi terselenggaranya dialog, dengan menyajikan berbagai kearifan masing-masing ajaran dan pengalaman relijius masing-masing individu.
Jika saja ajaran agama dapat diletakkan dalam peta kebudayaan, banyak krisis dan konflik yang bermula dari masalah sosial, ekonomi dan politik yang kemudian memasuki wilayah keagamaan, akan bisa diurai dan dicarikan jalan pemecahan. Sayang, pikiran dan usaha demikian selalu ditolak dan dipandang melecehkan agama atau Tuhan itu sendiri. Konflik yang antara lain mendorong tindak kekerasan itu justru bisa dipandang sebagai bagian pemenuhan ajaran Tuhan. Kesalehan kemudian dipandang bisa dicapai dengan tindakan "antikemanusiaan" itu sendiri.
Itulah problem mendasar dan peka dalam hubungan keagamaan dan kemanusiaan, kebudayaan; kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara kegiatan keagamaan cenderung kurang memberi apresiasi masalah kebudayaan dan kurang peduli berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Di situlah akar konflik berbau agama di sepanjang sejarah peradaban dan sejarah kebangsaan Indonesia. Tanpa pencerahan kebudayaan dalam keagamaan, konflik keagamaan masih akan meluas, lebih keras, eksplosif dan massif.
Seseorang yang menyakini "agama"-nya bersumber wahyu dari Tuhan, penting menyadari secara jujur dan jernih bahwa "agama Tuhan" itu berbeda dan harus dibedakan dengan "ke- agamaan". Tuhan yang diyakini esa atau tunggal itu pun bisa hadir dalam beragam bentuk dan media. Klaim kemutlakan dan ketunggalan keagamaan sering tidak konsisten karena "yang mutlak" itu pun ternyata dirumuskan pemeluk yang sama secara berbeda dalam wilayah dan zaman berbeda. Kegaiban Tuhan justru mengandaikan tidak ada tafsir yang benar-benar representatif karena hal itu bisa berarti meniadakan kegaiban atau kemisteriusan Tuhan itu sendiri.
- Penutup
Pada akhirnya penting dikembangkan model baru paham keagamaan di mana janji surga Tuhan terbuka bagi semua manusia yang benar-benar ikhlas mengabdikan diri pada Tuhan melalui bentuk paling jelas yaitu pembebasan manusia tanpa melihat agama dan partinya dari segala penderitaan. Surga Tuhan itu nanti dimungkinkan terdiri banyak "kamar" yang bisa dimasuki dengan beragam jalan atau agama. Karena itu, semua manusia berpeluang masuk surga sesuai keagamaan dan kapasitasnya masing-masing, jika benar-benar memang percaya
(iman) dan berminat.
Dalam hal ini pluralisme haruslah dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan (fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit. Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.
Perbedaan dalam agama dalam konteks pluralisme tidak juga dapat diselesaikan dalam konteks “saling melengkapi”, karena adanya suatu rumusan iman yang berbeda antar agama menjadi suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Penyelesaian konflik akibat perbedaan agama dapat diselesaikan dengan bentuk dialog dan toleransi. Itulah inti dari pluralisme keberagamaan. Dialog dan toleransi bukanlah bertujuan untuk menyangkal rumusan iman agama lain, tetapi berusaha memahaminya dengan bahasa yang digunakan oleh agama lain. Dialog juga bukan bertujuan untuk menyangkal keimanan dalam agama sendiri, tetapi justru menguatkan dan meneguhkan. Itulah bahasa pluralisme dialog dan toleransi. Dan toleransi yang sejati adalah memahami dan mengeratkan keluar dan menguatkan dan meneguhkan kedalam.
* Disampaikan dalam seminar Islam dan Kemajemukan Indonesia atas Kerjasama STAIN Samarinda dengan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Mulya Jakarta, dalam rangka diseminasi pemikiran mendiang Nurcholish Madjid, di Auditorium STAIN Samarinda Pada tanggal 27 Juni 2007
◙◙ Koordinator Council for Islam and Civilization (civil)
No comments:
Post a Comment